Diantara Aku, Kamu, dan Rintik Sedu
“Kamu
suka dengerin podcast ngga? Tau rintik sedu kan? Dengerin deh.”
Aku
menerima sebuah pesan singkat itu darinya. Saat itu pukul 9 malam, aku sedang
menunggu balasan darinya. Sebab pesan terakhir yang kuterima, kau mengatakan
akan pergi bermain futsal dengan sahabat-sahabat SMA nya.
“Tau,
tapi ga pernah dengerin podcast, udah selesai futsalnya mas?”
“Udah,
ini masih ngopi, ini linknya,”
Lalu ia mengirimkan sebuah link
podcast. Aku langsung menuju kesana. Mendengarkan dan memahami kata demi kata,
mencerna semua kata yang diucapkan oleh Tsana. Sejujurnya aku tidak pernah
mendengarkan podcast. Aku lebih suka mendengarkan lagu atau radio, tapi
kali ini aku mencobanya.
“Gimana? Suka ga? Bisa telpon malam
ini?”
Aku
mendengarkan podcast hingga tertidur. Lalu aku terbangun sebab mendengar
notifikasi darinya. Belum sempat aku menjawab, ia sudah menelpon ku lebih dulu.
Pembicaraan awal telpon hampir sama seperti sebelumnya. Dimulai dari saling
bercerita tentang apa saja kegiatan hari ini, bertemu dengan siapa saja, dan
mengutarakan semua beban di pikiran. Tentu saja cerita keseharian kita berbeda,
sebab ia adalah seorang mahasiswa semester 6 dan aku seorang siswi kelas 11
SMA. Usia kita terpaut 5 tahun, namun kami bisa saling ber-adaptasi.
“Eh gimana suka ga? Kamu kan suka
nulis dek, pasti tau Rintik Sedu kan?”
“Iyaa
mas, aku tauu, tapi ga pernah dengerin. Kenapa mas suka banget sih sama Rintik
Sedu, sampai timeline nya penuh sama postingan Rintik Sedu.”
Lalu
ia bercerita bagaimana awal mula ia senang mendengarkan podcast Rintik
Sedu. Berawal dari mantan pacarnya yang sangat suka sekali mendengarkan podcast,
hingga ia sendiri juga ikut suka. Kemudian hubungan mereka harus selesai, untuk
menghibur dirinya sendiri, sebelum tidur ia selalu mendengarkan podcast
tersebut. Sebetulnya, kami bertemu dan berkenalan di waktu dan perasaan yang
sama. Aku baru saja ditinggal oleh seseorang yang hatinya sangat sulit
kugenggam. Ia baru saja ditinggal oleh kekasihnya, diputuskan setelah kencan.
Ternyata mantan pacarnya sedang terjebak friend zone dengan teman
kuliahnya. Posisi kita sama, berusaha untuk saling menghibur, menguatkan, dan
motto kami sama “ya gapapa namanya juga hidup, people come and go”.
“Eh Tsana bentar lagi ngeluarin film
loh, judulnya Kata, nonton yuk kalau udah ada di bioskop.”
Aku
mendengar suaranya di seberang sana dengan penuh semangat. Aku meng-iyakan
ajakan untuk pergi ke bioskop bersama. Di dalam hatiku, aku juga sangat
bersemangat sekali. Meskipun film tersebut ditayangkan ketika pandemi mereda,
sedangkan di Indonesia kasus sedang tinggi-tingginya.
Hingga pada suatu hari, ia
mengucapkan sebuah kalimat yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Sebuah kalimat
yang membuatku berpikir seharian. Hingga menjawab dengan penuh kepastian. Sebab
ia berucap bahwa ia tidak suka menunggu dengan lama
“Mau jadi pacarku ga? Gak maksa sih,
kalau mau ya ayo, kalau engga ya gapapa. Tapi kalau bisa mau ya hehe. Malu nih
udah confess masa ga diterima.”
“Bentar ya aku pikirin dulu, kasih
aku waktu.”
“Yauda 1x24 jam, ga suka nunggu
lama-lama.”
Aku memikirkan jawaban tersebut,
memikirkan tentang apa yang terjadi kedepannya. Memperkirakan segala yang
terjadi, mengingat aku dan dirinya menjalani hubungan jarak jauh. Kali ini aku
tidak meminta pertimbangan dari sahabatku, biarlah aku yang mengambil keputusan
sendiri. Sebab kali ini yang menjalani adalah aku dan dirinya, bukan mereka.
“Mau, tapi ga boleh banyak rewel ya
karena kita ldr.”
“Okei cantik!”
Hari-hariku menjadi lebih berwarna oleh
kehadirannya. Aku merasa diperlakukan bagai tuan putri olehnya. Dia betul-betul
menerimaku apa adanya. Dia mau mendengar segala keluh kesahku, menanggapi dengan
bijaksana. Dia selalu mengingatkan agar aku tidak merasa insecure. Makin
hari aku dibuat makin cinta oleh pemikirannya yang dewasa. Aku berharap semoga
kita selalu bersama, karena aku merasa nyaman berada dengannya.
Menginjak bulan ke-sepuluh tiba-tiba
semuanya berbeda. Entah kenapa dia suka sekali marah, bahkan beberapa kali pesanku
tidak dijawab. Aku mencoba untuk selalu berpikir positif. Mungkin saja ia masih
disibukkan dengan skripsinya, mengingat dia sudah semester 7 saat itu. Aku juga
semakin sibuk dengan persiapan SBMPTN. Hubungan kita semakin renggang.
Hingga pada suatu malam perasaanku
sedang tidak enak. Tiba-tiba ia mengunggah foto di status whatsaoo bersama
seorang wanita yang aku tidak mengenalinya. Aku menanyakannya, ia berdalih bahwa
mereka hanya berteman. Aku tetap saja tidak percaya. Pada saat itu juga aku
memilih untuk memutuskan hubungan. Terasa sakit memang, semuanya terasa berat. Tiba-tiba
aku menjadi goyah dan tidak memiliki semangat. Motivasi untuk belajar juga
turun. Aku hanya menangis tiap malam, dan dirinya semakin sering mengunggah
foto bersama wanita tersebut.
Aku merasa hancur, bertanya pada
diri sendiri apa saja kesalahanku. Butuh waktu berbulan-bulan untuk
melupakannya. Tiap kali postingan rintik sedu lewat aku mendadak kesal. Sebab
semakin mengingatkanku padanya. Hingga saat film “Kata” keluar aku memutuskan
untuk menontonnya sendiri di kamarku. Setelah menonton film tersebut aku merasa
bahwa tanpa dirinya juga aku tidak apa-apa.
Hatiku hancur namun tidak ada yang
aku sesali. Kini ia sudah memiliki puan lain, yang berbeda dari sebelumnya. Perempuan
itu adalah mantan pacar yang mengenalkannya pada podcast Rintik Sedu. Aku
juga mendengar bahwa dirinya akan melamar wanita itu. Selamat berbahagia untuk
kalian. Senang aku mendengarnya. Semoga perempuan barumu itu tidak merasakan
hal yang sama seperti yang kurasakan.
Komentar
Posting Komentar